Dahulu kala, di laut lepas sering terjadi perkelahian antara Hiu yang dikenal dengan ikan Sura dan Buaya (dalam bahasa Jawa Buaya=Baya). Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama - sama kuat, cerdik, tangkas, dan ganas. Setiap mereka berkelahi, belum ada yang menang ataupun yang kalah.
Suatu ketika Sura mengajukan usul pada Buaya untuk membagi daerah kekuasaan supaya mereka tidak berkelahi terus. Buaya pun menyetujui usul Sura. Maka mereka memiliki daerah kekuasaan masing - masing. Sura menguasai wilayah air dan mencari mangsa di dalam air, sedangkan Buaya menguasai wilayah daratan dan mencari mangsa di darat. Pembagian daerah kekuasaan itu memang tidak menimbulkan perkelahian. Mereka saling menghormati daerah kekuasaan masing - masing. Selama mereka mematuhi kesepakatan yang telah dibuat bersama, keadaan saat itu aman dan baik - baik saja.
Tetapi suatu hari Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini membuat Buaya marah.Karena sungai berada di wilayah darat. Sedangkan Sura tak merasa bersalah, karena dia menganggap bahwa sungai adalah wilayah perairan juga. Namun Buaya tetap bersikeras dan mengatakan bahwa sungai hanya ada di daratan. Sedangkan daratan adalah wilayah kekuasaannya. Mereka terus berdebat mempertahankan pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya perkelahian besar pun tak dapat dihindari. Mereka saling menerjang dan menyerang. Tubuh mereka penuh luka. Dalam waktu sekejap air di sekitar mereka berubah menjadi merah karena kucuran darah dari tubuh keduanya. Buaya pun akhirnya dapat menggigit ekor Sura. Buaya sangat puas dapat mempertahankan wilayahnya. Sura pun kembali lagi ke lautan.
Peristiwa pertarungan itu akhirnya dikaitkan oleh masyarakat Surabaya sebagai asal usul kota Surabaya. Bahkan Hiu-Sura dan Buaya digunakan sebagai lambang kota Surabaya.
Dikutip dari Cerita Rakyat dari Surabaya yang diceritakan kembali oleh Suripan Sadi Hutomo dan Setya Yuwana Sudikan, Jakarta: Grasindo 1996.
By
0 komentar:
Posting Komentar